Agama Bali atau Hindu ?

Photo Orang Bali Jaman Dulu (JADUL)

PERGUMULAN pencarian identitas agama orang Bali telah berlangsung lama dan belum terselesaikan hingga kini. Michel Picard dari Center Asie du Sud-Est (Pusat Kajian Asia Tenggara) CNRS-EHESS—semacam LIPI-nya Prancis, pada Juni 2006 lalu membahas masalah peka itu dalam Seminar Seri Sastra Sosial Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ada dua pertanyaan penting yang dikaji doktor lulusan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales itu. Pertama, bagaimana hubungan agama dan adat, bagaimana memisahkan fungsi keduanya. Kedua, bagaimana hubungan antara agama yang dipeluk orang Bali dan Hinduisme. Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, Michel Picard membagi periode kajiannya menjadi tiga, masa kolonialisme, masa ketika Bali bergabung ke NKRI, dan masa ketika agama Hindu mendapat pengakuan sebagai agama resmi.  Paling tidak, sejak tahun 1920-an kaum intelektual Bali telah melakukan perdebatan intensif mengenai hubungan agama dan adat. Kedua istilah itu, seperti disitir Michel, memang bukan ”milik” orang Bali. Sebab, kata “adat” berasal dari Bahasa Arab, sedangkan “agama” berasal dari Bahasa Sanskerta. Perdebatan, terutama sekali, berpusat pada dua organisasi yang ada di Singaraja, yakni Surya Kanta dan Bali Adnyana. Kelompok yang tergabung dalam Surya Kanta cenderung sangat progresif dengan mengibarkan bendera kemajuan sembari menolak pelestarian adat-istiadat yang dianggap menghambat kemajuan. Kelompok Bali Adnyana beranggapan, sepanjang sejarah kehidupan orang Bali, adat telah terbukti mampu menjawab berbagai tantangan kehidupan.

Perdebatan kemudian berlanjut pada persoalan kasta dan pencarian identitas keagamaan. Ada kegerahan tertentu ketika orang-orang asing —terutama penjajah, misionaris Kristen, dan pendatang Muslim— mempertanyakan hakikat agama Bali. Tahun 1937 Jurnal

Djatajoe menulis: Sebeloem poetra-poetra dan poetri-poetri Bali ada jang bersekolah, dan di Bali beloemlah pernah berdiri soerat-soerat chabar, maka keadaan di Bali soedahlah memeloek agama ini, jang mana berdjalan teroes, tiadalah ada mentjela dan menjalahkan, jang mana kita dengar tjoema ada pembitjaraan ‘adat desa anoe begini dan desa anoe begitoe’, begitoe poela ‘orang dibagian anoe djalan ngabennja begini’… Lantas ini tiada diseboet oepatjara agama, melainkan diseboet adat desa. Djadi ringkasnja agama jang sebenarnja tiada diketahoei; jang diketahoei perbedaannja tjoema adat desa dan agama jang diketahoei tjoema agama Bali (Djatajoe 1937, 2/5: 131).

Perdebatan mencari identitas keagamaan terus berlanjut hingga akhirnya kelompok Bali Adnyana mencoba mencari jawaban. Dalam kebuntuan, ada usulan persoalan ini diserahkan kepada para pendeta. Tapi kelompok lain menolaknya dengan argumentasi, para pendeta cenderung berpikiran sempit dan berpihak pada kepentingan kekuasaan. Pertanyaan tetap menjadi pertanyaan, tak pernah terjawab.

Dalam Jurnal Djatajoe, pakar adat Bali, Victor Emanuel Korn menulis: “Perkataän ‘Bali Hindoe’ itoe, tidak benar, karena tambahan kata Hindoe itoe seakan akan memperlihatkan, bahwa agama Bali itoe menoendjoekkan dasar ke Hindoean. Sesoenggoehnja tidak begitoe. Dasar-dasar agama di Bali ialah: ‘heidensch’“ (pagan).

Lalu, pada sebuah artikel berjudul ”Kebingungan Kita tentang Agama” tertulis: agama kita ini bersendi dari adat dan ditjampoeri oleh bermatjam-matjam sari dari agama Hindoe, jang soedah tentoe tiada bisa dibandingkan kepada salah satoe agama di Hindoe, jang mana pada pemandangan Toean-toean bangsa asing adalah kita tak beragama dan tiada menjembah Toehan (Widi), melainkan kita adalah disamakan sebagai orang gila jaitoe menjembah segala jang ketemoe. Selanjutnya, pada artikel yang sama: haroeslah kita menjelidiki kebenaran dan apa arti jang terpakai pada agama kita soepaja bisalah kita djawab toedoehan Toean-toean bangsa asing tentang kehinaän oepatjara agama kita.” dan haroes ditimbang oleh para Pandita-Pandita dan orang-orang jang achli mana agama jang haroes dipakai, tjampoeran mana jang haroes diboeang, dan adat mana jang masih boleh dipakai dan mana jang menjebabkan kemoendoeran haroes diboeang (semua kutipan berasal dari makalah Michel Picard berjudul ”Dari Agama Bali ke Agama Hindu” yang dipaparkan dalam seminar).

Hingga masa kolonialisme berakhir, kaum intelektual di Bali belum benar-benar sepakat mengenai apa dan bagaimana agama Bali yang mereka anut. Bahkan ketika Indonesia merdeka dan Hindu diterima sebagai agama resmi di Indonesia, perdebatan terus berlangsung. Perdebatan lebih melebar pada masalah Balinisasi Hindu di satu pihak dan Indonesianisasi Hindu di pihak lain. Konflik baru lainnya juga muncul akibat adanya kelompok yang meginginkan Hindu di Bali benar-benar kembali ke Weda secara murni. Tapi, beberapa kelompok lain menginginkan Hindu tetap berada dalam posisinya sekarang. Inilah, konon, cikal-bakal perpecahan Parisada Hindu Dharma menjadi kelompok Campuan dan kelompok Besakih.

”Perdebatan seperti ini adalah wajar dan biasa saja,” ungkap I Wayan Westra, tokoh muda Bali. Ia malah menuduh kapitalisme telah mencoba melakukan penyeragaman terhadap cara berpikir orang Bali. Westra justru mengkhawatirkan pola penyeragaman. Hal yang sama dikemukakan Raka Santeri, intelektual Bali. Menurutnya, Bali tidak pernah berusaha mengubur konflik, sebab nanti kebenaranlah yang bakal memenangi konflik itu. Ruh konflik itu, menurut Raka Santeri, dulu hingga sekarang tetap sama, adanya kelompok yang stagnan dan kelompok yang menginginkan kemajuan. ”Esensinya, maukah PHD (Parisadha Hindu Dharma) menerima perbedaan? Maukah PHD tidak hanya dipimpin pendeta, tetapi digerakkan organisator yang profesional?” tanya Raka Santeri.

Bagi Michel Picard, yang menarik kontinyuitas pertentangan antarintelektual Bali dalam masalah yang sama seperti kasta, adat, dan dadia. ”Apakah konflik yang berlangsung bertahun-tahun ini berasal dari hal yang sama?” tanya Michel dalam seminar yang di-moderatori Dr. I Nyoman Darma Putra. M.Litt.

HINDU BUKAN HANYA BALI

DALAM pandangan sejarawan Nyoman Wijaya, kajian yang dilakukan Michel Picard merupakan studi mendalam tentang perdebatan panjang yang dilakukan kaum intelektual Bali. ”Ini studi yang menarik. Kita harus bisa memahami kekeliruan kita selama ini dengan memahami perdebatan itu,” ungkap dosen sejarah Unud itu. ”Kita tidak bisa membedakan, beragama Hindu Bali atau Hindu Dharma,” jelas Wijaya.
Ketidakjelasan itulah, menurut Wijaya, yang sedang dikaji Michel Picard.
Selama ini, katanya, masyarakat Bali mengklaim diri memeluk agama Hindu Dharma, padahal praktik kesehariannya lebih dekat pada Hindu Bali. ”Hindu Dharma itu lebih universal. Acuannya Weda. Hindu Bali lebih banyak dilandasi adat dan tradisi,” tambahnya. Kalau benar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, hendaknya unsur adat Bali dikurangi dan universalitas agama Hindu-lah yang lebih ditonjolkan,” tutur Wijaya kepada Tokoh di sela-sela Seminar Seri Sastra Sosial Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Jumat 2 Juni 2006. Nyoman Wijaya mengakui, jika masyarakat Bali benar-benar ber-Hindu Dharma, yang unsur universalitas agama Hindu-nya ditonjolkan, akan terjadi perubahan signifikan dalam kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat Bali. ”Dengan sendirinya kita akan meninggalkan kasta. Begitu juga dengan budaya dominasi lelaki atas perempuan akan hilang,” kata Wijaya.

Perbedaan menonjol agama Hindu Bali dan Hindu Dharma ada pada pelaksanaan upacara yang menganut konsep tapak dara. Garis tegak lurus (vertikal) pada tapak dara itu, menurut Wijaya, upacara yang berorientasi ke Tuhan, sedangkan garis horizontal pada agama Hindu Dharma bermakna upakara yang berarti pelayanan sosial pada manusia dan lingkungan. ”Pada agama Hindu Bali, garis horizontal itu dimaknai sebagai sarana upacara atau banten,” tutur Wijaya. Lelaki berkaca mata itu menekankan, kalau masyarakat Bali benar-benar ingin beragama Hindu Dharma dengan kecenderungan pada universalitas ajarannya, harus berani meninggalkan keangkuhan kedaerahan. ”Orang Hindu itu tidak hanya orang Bali,” tegasnya. Oleh : Arixs

Lalu bagaimana sebenarnya Agama Tirtha yang oleh para tetua menyebutkannya. Berikut ulasannya. Sebagaimana tulisan Parokshaghana Dirghantara, Pada mulanya para tetua Bali setelah masa kemerdekaan NKRI memperjuangkan sebuah nama agar apa yang dilakukan oleh masyarakat Bali dapat diakui oleh negara. Ketika negara mulai menetapkan apa saja nama agama yang diakui oleh negara, para tetua tersebut mengusulkan nama agama TIRTA untuk menyebut apa yg dilakukan masyarakat Bali. Namun, nama tersebut tidak dapat diterima, salah satu alasannya adalah tidak ada nama agama Tirta dibelahan Bhumi lainnya.

Setelah berjalannya waktu, dengan berbagai macam kajian kekuatan dan kelemahan yg mungkin akan muncul dikemudian hari akhirnya diturutilah saran Bapak Presiden Soekarno, para tetua Bali menggunakan usulan nama Hindu, namun dengan tambahan yang disebut Hindu Bali. Pertimbangan utamanya adalah agar apa yang dilakukan masyarakat Bali mendapatkan pengakuan dari pemerintah NKRI. Dengan nama Hindu Bali inilah akhirnya apa yang dilakukan masyarakat Bali mendapatkan pengakuan pada tahun 1958. Atas dasar inilah saya dalam tulisan sebelumnya menyatakan bahwa nama agama Hindu belum ada di Indonesia sebelum tahun 1958.

Efek samping dari mengambil nama Hindu Bali ternyata kurang bisa mengadopsi budaya lain di luar Bali yang pada intinya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Maka kemudian organisasi yang semula bernama Parisada Dharma Hindu Bali diubah namanya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Tujuannya adalah agar dapat merangkul seluruh budaya asli Indonesia sejak masa lampau dalam satu wadah, baik yang berada di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan seluruh wilayah NKRI.

Efek samping selanjutnya adalah, ketika waktu terus bergulir, banyak yang lupa bahkan tidak mengetahui sejarah penggunaan nama Hindu di NKRI ini. Akibatnya, atas ketidaktahuan tersebut banyak orang-orang, bahkan tidak sedikit pengurus PHDI sendiri yg menjadi India sentris. Sehingga membuka peluang masuknya paham-paham India merecoki Budaya bangsa kita. Alih-alih menolak budaya ke-barat-baratan, sekarang menjadi ke-India-Indiaan dsb.

Setidaknya dalam 1 dasawarsa belakangan ini, muncul beberapa frase dari para penganut India sentris. Salah satunya menyatakan bahwa apa yang dilakukan masyarakat Bali menyimpang dari Veda. Padahal jika ditelusuri pun ternyata acuannya bukanlah kitab-kitab Catur Veda Samhita, namun hanya salah satu purana saja. Ingat, Purana muncul setelah masa Veda. Oleh sebab itu, saran kami dari saudara kalian yang masih terus belajar mendalami Budaya Bali warisan leluhur kita sendiri, harap hentikan frase-frase konyol yg kalian ucapkan atas ketidakpahaman atas apa yang kami lakukan di Bali sejak masa silam. Janganlah menilai dengan dasar acuan yang tidak tepat.

Tetua kami dahulu mengajukan nama TIRTA karena beliau memahami yg kami lakukan adalah ngastiTI RTA, menghormati dan mengelola hukum semesta. Dimana dalam ranah seperti ini memang tidak pas untuk disebut hanya sebagai sekedar Agama, sebab cakupannya jauh lebih luas, yaitu hingga Nigama dan Sundarigama. Dasar dari apa yg kami lakukan di Bali adalah TANTRA, ajaran yg sudah ada di Bhumi Timur jauh sebelum kedatangan invasi peradaban Bangsa Arya yang datang membawa ajaran Veda dari tempat asal mereka sekitar 6000BCE hingga 5000BCE. Bahkan para peneliti dunia sekarang ini pun tidak sedikit yang menyebutkan bahwa justru peradaban Arya dan ajaran Veda kepunyaan mereka mulai dipengaruhi oleh ajaran Tantra setelah memasuki wilayah India.
Pada sekitar 5000BCE, hadirlah seorang Adi Yogi yg sekarang dikenal dengan sebutan Çiwa, atau sumber lain menyebut beliau sebagai Sadha Çiwa, beliaulah yg mengajarkan kembali ajaran-ajaran Tantra di Barat (negri Bharata/India) secara lebih sistematis. Çiwa yg mengajarkan kembali ajaran-ajaran purba Bhumi Timur kepada para pendatang baru di wilayah Barat. Melalui analisa sederhana kami, Çiwa sangat erat hubungannya dengan biji dari buah yang disebut Rudrakça (Rudraksha), dan NKRI dari dahulu kala hingga masa kini masih menjadi penghasil dan pengekspor Rudrakça terbesar di dunia. Sedangkan India masih menjadi importir terbesar di dunia.

Untuk meninggikan status bangsa Arya agar dianggap lebih superior, maka dibuatlah kisah-kisah pendukung yang isinya merendahkan peradaban Timur, namun dibalut dengan alur cerita tentang kebajikan dan kebijaksanaan sehingga mudah diterima masyarakat awam, tanpa menyadari intrik politik di dalamnya. Ras-ras bangsa yang ada di belahan Timur dan yang terkait dengan Tantra dijadikan objek pihak yang terkalahkan. Menyebut ras-ras bangsa Rakçasa, Yakça dsb. sebagai golongan rendah, barbar, bahkan dalam bahasa umum sekarang mereka diterjemahkan sebagai golongan Iblis. Padahal hal tersebut lebih didasari oleh kebingungan bangsa Arya ketika berhadapan dengan bangsa Timur yang dalam kesederhanaan mereka (dianggap primitif tak beradab oleh bangsa Arya) ternyata sangat jawara dalam mengolah daya (Shakti), sangat memahami inti pengetahuan tentang Rta (hukum semesta) sehingga mampu dengan leluasa mengubah bentuk fisik mereka sesuai kemauannya, mampu melakukan teleportasi, pindah antar dimensi ruang dan waktu, terbang dsb. Padahal itu semua pun sesungguhnya hanya bunga-bunga permulaan dari mereka yg mendalami pengetahuan secara selaras antara TANTRA MANTRA YANTRA dimana sekaligus bisa menjadi jebakan batman (boomerang), bagi kemajuan perjalanan mencapai kesempurnaan pengetahuan.

Kami menemukan sumber yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tantra-Mantra-Yantra dimasa kini salah satu yg masih tersisa adalah tercatat dalam Ravana Samhita. Sang Dasa Muka yg sesungguhnya adalah ungkapan bahwa beliau yang menguasai sepuluh cabang pengetahuan yang utama (Dasa Mahawidya). Kami belum sampai menelaah secara mendalam tentang Dasa Mahawidya, namun kecurigaan kami mengarah kuat bahwa hal tersebut di Bali masih dikenal dengan istilah Dasa Aksara.

Dari sekilas uraian di atas, maka 4500 tahun setelah kehadiran Çiwa menjadi masuk akal munculnya kembali seorang tokoh yg menolak otoritas Veda, dan kembali mengajarkan Tantra, beliaulah yang disebut Buddha Gautama. Hal ini juga yang menjadi dasar kuat kenapa hanya di Dwipantara ini yg mengenal istilah kesatuan Çiwa Buddha,  ingat, kesatuan bukan penyatuan. Sebab kedua tokoh Çiwa dan Buddha Gautama sama-sama mengajarkan kembali Tantra, ajaran Bhumi Timur yang sudah diajarkan dan dilaksanakan sejak masa yang sangat lampau sebelum masuknya Veda ke Bhumi Timur. Jadi, tidak ada sinkretisme antara ajaran Çiwa dengan Buddha, namun keduanya memang menyampaikan hal yg sama yaitu tentang ajaran Tantra.

Oleh sebab itu, apa yg dilakukan masyarakat Bali secara lebih spesifik, bahkan Dwipantara secara umum, sejak turun temurun tidak tepat jika dikatakan menyimpang dari ajaran Veda India. Karena kami menggunakan dasar yang berbeda, yaitu Tantra. Atau jika boleh dibalik, India yg juga adalah bagian dari peradaban Bhumi Timur, dimana dahulunya juga termasuk yg menggunakan ajaran Tantra adalah yang saat ini menyimpang dari ajaran Tantra, sebab sudah terlalu dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Veda yg dibawa oleh invasi bangsa Arya sejak 6000BCE.

Ajaran Veda yg dibawa bangsa Arya memang membawa pengetahuan dan kemakmuran untuk dunia, namun tanpa mengetahui tentang pengelolaan dan pemanfaatan Daya (Shakti/energi), semua itu tidak akan mencapai kesempurnaan yg paripurna.

Sources Parokshaghana Dirghantara

Posted by I Wayan Ardika

8 thoughts on “Agama Bali atau Hindu ?

  1. kalau ada agama yang dapat merangkul segala jenis kepercayaan, adat istiadat, dan budaya maka itu adalah hindu. itulah sebabnya agama bali adalah hindu, karena dengan sebagai hindu ia tetap ada. Jangan memikirkan dan berdebat tentang masalah ini, percayai apa yang anda amalkan dan amalkan apa yang anda percayai. Anda tidak harus hindu, anda tidak harus bali. Anda bisa jadi siapa saja. Tapi tolong, bila anda bermain dalam hindu bali cukupkan perdebatan ini karena semakin membingungkan orang bali. Dan Picard tidak akan mau bertanggung jawab akan hal itu.

    Suka

  2. Om swastiastu
    Janganlah membuat bingung umat hindu di indonesia dengan pernyataan tersebut. Bukankah agama universal itu tidak memaksakan kehendaknya untuk mengikuti satu tujuan. Menurut saya asalkan kita tetap berdasarkan ajaran weda kita adalah sama memeluk agama hindu yang universal, dimanapun hindu itu berada dia akan tumbuh dengan indahnya karena tidak memaksakan ato mematikan kebiasaan disuatu daerah dia berada. Hindu ya g ada di bali dengan yang ada di daerah lain adalah sama, tetap menjalankan ajaran weda. Jangan mau dicampur aduk dengan orang yang memiliki kepentingan politik untuk menghancurkan hindu. Saya sangat cinta hindu karena ajarannya begitu lengkap luas dan sungguh indah. Dimanapun kita berada kita tetap junjung persatuan hindu, sekali lagi kita jangan mau dibuat terpecah oleh orang2 yang mengaku hindu padahal dia punya misi untuk menjadikan hindu itu hancur.
    Om santi santi santi om

    Suka

  3. Om Swastiastu
    Hindu adalah agam yang sangat universal, tidak terbatas. Terkadang orang sangat susah membedakan antara tradisi dan agam namun dengan pengetahuan dan juga logika kita akan bis amembedakan yang mana tradisi dna juga yang mana agama.Saya bangga menjadi orang yg terlahir sebagai hindu… 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  4. Om Swastyastu,
    Menurut Tyang sebenarnya bila kita memahami spiritualitas dan Sanathana Dharma dengan utuh,hidup didunia ini harus bermakna bagi diri sendiri,keluarga,masyarakat ,negara dan DUNIA,janganlah Adat,Agama Hindu Dharma,Agama Hindu Bali diperdebatkan bagaikan Ngerebut Balung Tanpa Isi,Menjilat botol tanpa rasa yg ujung ujungnya kekecewaan yg kita dapat,Suksme

    Suka

  5. Ini cuma pebendaharaan kata dan penyederhanaan bahasa seperti sudah umum di Bali. Orang tua kita dulu mengenal istilah “nak mula keto”, jadi kalau orang berkata NAK BALI konotasinya pastilah HINDU, jika orang bilang NAK JAWA konotasinya Islam dan itu suadah lumrah.
    Contoh lain dulu orang bilang HONDA, konotasinya pastilah sepeda motor, jadi janganlah diperdebatkan terlalu panjang yang penting kedepannya kitalah yang menjaga Bali beserta dengan adat, tradisi dan budaya termasuk Nak Balinya….
    salam

    Suka

  6. Saya masih mewarisi ajaran leluhur. Melaksanakan upacara-upacara. Mengasimilasi ajaran-ajaran yang positif dari luar. Dan bagi saya, agama saya adalah Agama Bali.

    Suka

Tinggalkan komentar